Razia kendaraan yang antre membeli solar di SPBU bisa jadi salah satu solusi. Untuk mengidentifikasi pengguna BBM bersubsidi tersebut. Dengan begitu, bisa tepat sasaran. Tidak “diminum” truk pengangkut batu bara dan sawit.
bontangpost.id – Antrean solar bersubsidi di Kaltim tak lepas dari indikasi penyelewengan. Diduga masih terjadi praktik pengetapan, hingga kendaraan dari industri tambang dan perkebunan yang ikut menikmati. Itu sebabnya meski ditegaskan kuota solar bersubsidi sudah melimpah, namun tak memberikan efek berkurangnya antrean.
“Disebut solar ini bahkan sudah di atas kuota. Tapi kenyataan di lapangan cepat habis itu di SPBU,” ungkap Wakil Ketua Komisi III DPRD Kaltim Syafruddin, Rabu (13/4).
Ketua Fraksi PKB-Hanura itu menegaskan, Komisi III sejak awal sudah banyak melakukan koordinasi dengan Pertamina dan Pemprov Kaltim. Untuk bisa mengetahui dan memberikan masukan soal kondisi yang menahun ini. Tetapi memang, yang tidak bisa dimungkiri, banyak pihak khususnya industri yang menggunakan BBM bersubsidi. “Ya akar masalahnya di sana. Mereka yang tidak berhak ikut menikmati solar bersubdisi,” jelasnya.
Harusnya Pertamina dalam hal ini yang memiliki kewenangan mampu melaksanakan pengetatan. Terhadap penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubdisi khususnya solar. Sementara untuk kepolisian bisa lebih intensif melakukan pengawasan dan penyelidikan soal indikasi penyelewengan tersebut. Karena jelas, kondisi antrean kendaraan tersebut banyak merugikan konsumen yang berhak.
“Kalau perlu razia rutin. Sangat dimungkinkan mengidentifikasi kendaraan milik perusahaan atau industri tertentu. Ini langkah yang tepat,” ujarnya.
Terkait pembatasan pembelian solar bersubsidi, Syafruddin menyebut sudah menjadi kebijakan yang tepat. Pasalnya, jika tidak dibatasi, kendaraan-kendaraan kecil yang lebih mengakomodasi pelaku sektor kecil dan menengah akan tidak kebagian. Kalah dengan truk-truk bertonase tinggi milik industri besar.
“Di lapangan, banyak kendaraan kecil yang mengangkut hasil panen, komoditas usaha mikro kecil menengah (UMKM) hingga transportasi umum yang sangat bergantung pada solar subsidi. Jadi pembatasan itu bentuk pemerataan agar semua kebagian,” bebernya.
Untuk bisa mengurangi antrean, dirinya meminta Pertamina melakukan langkah jemput bola. Artinya memperbanyak kantong-kantong pengisian solar bersubsidi. Hingga menjual secara door to door. Selain untuk memecah antrean panjang, juga bisa sebagai langkah meminimalisasi terjadinya penyelewengan. “Karena jatuhnya lebih tepat sasaran,” ucapnya.
Untuk pemerintah daerah, pihaknya memang memaklumi masih minimnya peran Pemprov Kaltim. Karena memang persoalan kewenangan BBM subsidi merupakan kewenangan pemerintah pusat melalui Pertamina selaku BUMN. “Kecuali Pemprov Kaltim boleh jualan ya bisa saja ada intervensi. Pertamina juga kalau tidak sanggup menangani ya bubarkan saja. Karena memang kondisinya tidak bisa menjawab ketersediaan BBM di Indonesia khususnya di Kaltim,” imbuhnya.
Sementara itu, Kabid Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim, Baihaqi Hazami menyebut Pemprov Kaltim memang tidak memiliki kewenangan penuh soal BBM bersubsidi. Yang bisa dilakukan daerah hanya bisa memberikan imbauan kepada pemilik kendaraan. Seperti yang pernah disebutkannya belum lama ini. Di mana kendaraan pelat luar Kaltim diminta tidak ikut antre solar bersubsidi.
“Kewenangan itu masih pada BPH Migas (Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi), namun belum pada tahap pelarangan, belum ada payung hukumnya,” ucap Baihaqi, kemarin.
Jadi, apa yang lebih bersifat mengimbau kesadaran dari pengguna. Untuk sampai pada tahap pelarangan, harus dibahas bersama antara BPH Migas, Pemprov Kaltim, dan Pertamina. Baik membahas terkait regulasi maupun tara cara dan unsur yang akan terlibat dalam kontrol dan pengawasannya.
“Inisiasi bisa saja dari Pemprov Kaltim. Untuk mengusulkan regulasi tersebut kepada BPH Migas. Namun prediksi pembahasannya akan panjang, karena masalah yang sama juga terjadi di provinsi lain, tentu kebijakan yang dikeluarkan oleh BPH Migas bersifat berlaku secara nasional,” paparnya.
Terkait tindak lanjut dari kunjungan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dan Dirut Pertamina Nicke Widyawati pada 7 April lalu, dirinya menyebut ada rencana BPH Migas membentuk tim lintas kementerian dan lembaga. Khususnya dalam pelaksanaan kegiatan menyusun alokasi kuota jenis BBM tertentu (JBT) atau BBM bersubsidi dan jenis BBM khusus penugasan (JBKP). Namun, pengawasan masih pada BPH Migas.
“Yang dapat dilakukan oleh personel Pemprov Kaltim hanya memantau. Bila ada temuan-temuan di lapangan yang cenderung negatif, kami tindak lanjuti dengan melaporkan kepada BPH Migas. Serta mendampingi BPH migas ke lapangan bila ada kegiatan pengawasan di Kaltim,” tukasnya.
Diwawancarai terpisah, pengamat ekonomi Kaltim Aji Sofyan Effendi menyebut persoalan solar subsidi tidak akan tuntas selama pengawasan di tingkat distribusi tidak diperketat. Pasalnya, dengan disparitas harga yang tinggi dengan produk non-subsidi, unsur penyelewengan akan tetap berpotensi terjadi. Dan pada akhirnya hanya akan merugikan negara. Di lapangan, pengguna yang harusnya berhak bakal jadi korban.
“Sekarang solusinya mudah. Di SPBU, petugas atau pengawas misalnya, akan mudah mengidentifikasi ini kendaraan milik industri besar atau bukan. Kalau dia industri besar, ya antrenya di non-subsidi,” ucap dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mulawarman, Samarinda itu.
Seperti minyak goreng, persoalan solar bersubsidi muncul karena banyaknya pemain yang memanfaatkan harga yang ditetapkan pemerintah. Harga di bawah keekonomian. Sementara banyak pengguna solar bersubdisi itu adalah pelaku usaha industri besar. Di luar industri pertambangan dan perkebunan.
“Konkretnya mereka punya kemampuan pakai BBM non-subsidi tetapi masih minum solar subsidi. Sementara yang pelaku usaha kecil yang harusnya berhak harus jadi korban saat antre,” ucapnya.
Baginya tidak jadi masalah jika banyak kendaraan besar yang memang disebut berhak menerima BBM bersubsidi harus “dipaksa” pakai BBM nonsubsidi. Meski dalam kasusnya, kendaraan tersebut akan memengaruhi harga di pasar. Misalnya angkutan barang atau logistik. Sebab, pada akhirnya, hukum pasar yang akan menentukan. “Iya akan terjadi syok di masyarakat karena harga barang meningkat. Tetapi pada akhirnya akan terjadi adaptasi,” sebutnya.
Diwartakan sebelumnya, penambahan SPBU di Kilometer 13, Balikpapan faktanya belum mampu mengurai persoalan antrean solar bersubsidi secara signifikan. Selasa (12/4) lalu, truk masih antre panjang. Baik dari arah Tol Balikpapan-Samarinda maupun arah Terminal Peti Kemas (TPK) Kariangau. Nyatanya keberadaan pom bensin itu seperti menambah kepadatan antrean solar bersubsidi. (rom/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post